Senin, 11 Juni 2012

Problem Rekruitmen PNS Indonesia

 Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, mengatakan bahwa dari 4,7 juta Pegawai Negeri Sipil (PNS), sebanyak 95% PNS tidak kompeten, dan hanya 5% memiliki kompetensi dalam pekerjaannya( Harian Umum Pikiran Rakyat, 1 Maret 2012). Dapat dibayangkan kalau seandainya PNS ini tidak memiliki kompetensi, akan berakibat  atau berpengaruh terhadap pelayanan kepada masyarakat, misanya pelayanan menjadi lambat, bekerja asal-asalan, tidak maksimal, tidak efisien dan hasilnya tidak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang telah ditentukan.
Salah satu penyebab banyaknya PNS yang tidak berkompetensi karena proses rekruitment CPNS yang masih belum optimal. Proses penerimaan dan seleksi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia dinilai masih sangat buruk dan menimbulkan kerawanan terjadinya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), demikian.Proses pendaftaran yang rumit ditambah seleksi yang konvensional menunjukkan sejak dini Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) telah dikondisikan dalam sebuah situasi kerja yang sangat birokratis, "superficial", serta tidak berbasis pada keahlian atau kompetensi secara menyeluruh. Bahkan yang terjadi penyelenggaraan penerimaan dan seleksi yang buruk memang melekat pada masyarakat yang sedang mengalami transisi.  Beberapa CPNS harus membayar dan dapat memanfaatkan "joki" untuk mengikuti ujian.
Kondisi tersebut merupakan salah satu bentuk bagian dari buruknya sektor kepegawaian. Jika dirunut akar permasalahan dari buruknya kepegawaian negara di Indonesia pada prinsipnya terdiri dari dua hal penting:
(1) persoalan internal sistem kepegawaian negara itu sendiri,
(2) persoalan eksternal yang mempengaruhi fungsi dan profesiolisme kepegawaian negara.
Dalam subsistem kepegawaian negara itu sendiri terdiri dari:
(1) rekrutmen,
(2) penggajian dan reward,
(3) pengukuran kinerja,
(4) promosi jabatan,
(5) pengawasan.
 Kegagalan pemerintah untuk melakukan reformasi terkait dengan subsistem-subsistem tersebut telah melahirkan birokrat-birokrat yang dicirikan oleh kerusakan moral (moral hazard) dan juga kesenjangan kemampuan untuk melakukan tugas dan tanggungjawabnya (lack of competencies).
Terkait dengan persoalan rekruitmen dapat disebutkan beberapa situasi problematis yang dihadapi oleh birokrasi di Indonesia. Proses rekruitmen masih belum dilakukan secara profesional dan masih terkait dengan hubungan-hubungan kolusi, korupsi dan nepotisme. Rekruitmen pegawai masih dipandang seakan-akan menjadi kebutuhan proyek tahunan dan bukan sebagai kebutuhan akan peningkatan kualitas pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Indikasi ini sangat nyata apabila dilihat bahwa job analisis sebagai persyaratan untuk menentukan job requirement masih belum dimiliki oleh pemerintah.
Dalam konteks Indonesia banyak pegawai yang sudah dan selesai di rekruitmen, namun banyak juga yang tidak tahu apa yang dikerjakannya. Padahal hal ini bisa diantisipasi apabila untuk dapat melakukan proses perekrutan yang baik, maka spesifikasi tugas dan jabatan harus diketahui secara baik. Ironisnya, banyak sekali PNS yang tidak mengetahui tugasnya, bahkan nama jabatannya. Jika perekrutan dilakukan tanpa mengetahui kebutuhan analisis jabatannya, SDM aparatur pada satuan organisasi menjadi berlebihan dan tidak sesuai dengan beban kerja yang ada. Rekrutmen yang demikian akan semakin memperbanyak pengangguran tidak kentara PNS.
Pada sisi lainnya, kepastian tentang jumlah PNS yang dibutuhkan terhadap jumlah penduduk (rasio beban kerja) masih belum dapat dihitung secara baik untuk menentukan jumlah pegawai yang harus direkruit setiap tahunnya. Dari sisi penyelenggaraannya, rekruitmen pegawai masih dilakukan dengan cara-cara yang tidak menjamin kesempatan dan terjaringnya calon-calon yang potensial. Hal ini disebabkan karena rekrutmen masih dilakukan pemerintah, dan bukan oleh sebuah lembaga yang independen. Dengan situasi birokrasi yang sarat dengan KKN, maka proses rekruitmen yang demikian tidak dapat menghasilkan calon-calon yang terbaik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses rekruitmen di Indonesia dilakukan dengan cara-cara penyuapan, pertemanan dan afiliasi. Budaya perekruten yang demikian hanya akan menghasilkan birokrat yang moralnya tidak terjaga dan kompetensinya yang tidak memadai.
Problem perekrutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah juga tidak bebas dari masalah. Kuatnya egoisme daerah dan masih menonjolnya hubungan-hubungan persaudaraan dan afiliasi, juga telah menyebabkan proses rekrutmen tidak menghasilkan PNS-PNS yang memenuhi syarat kualifikasi dan akhlak yang baik. Bahkan kecenderungan untuk mengutamakan putra daerah dalam perekrutan PNS saat ini semakin menonjol dengan dilakukannya perekrutan oleh PNS.
Masalah kepegawaian di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Problem ini harus segera diselesaikan, karena jika dibiarkan masalah ini akan menjadi bumerang yang bisa saja menjadi sesuatu yang dapat menghancurkan keutuhan pemerintahan Indonesia. Pembenahan terhadap proses rekruitment pegawai harus segera dilaksanakan. Dengan sekian banyak jumlah pegawai negeri di Indonesia, hanya sedikit yang memiliki kompetensi yang memadai, dikarenakan proses rekruitment yang belum efektif dan efisien. Contohnya,  Kementerian Luar Negeri. Dari 10 ribu pelamar, yang diambil hanya 85 orang(Jawa Pos, 6 Maret 2012). Sayangnya dari jumlah yang lolos itu, hasilnya tidak sesuai harapan pemerintah, sehingga bisa menimbulkan rasa ketidakpercayaan terhadap birokrasi. Selain itu juga belum terbangun adanya budaya kerja.
Kualitas PNS tergantung pada rekrutmennya. Pengetatan rekrutmen Calon Pengawai Negeri Sipil oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB), dinilai dapat meningkatkan kompetensi para abdi negara di daerah. Persyaratan tersebut di antaranya melampirkan hasil analisis jabatan, hasil analisis beban kerja dan proyeksi kebutuhan PNS lima tahun ke depan. Pengetatan persyaratan pengusulan CPNS berdampak positif bagi daerah untuk jangka panjang. Dengan persyaratan baru tersebut, rekrutmen CPNS akan lebih terencana dan sesuai kebutuhan. Persyaratan analisis jabatan, sangat penting untuk mengetahui berapa pegawai yang dibutuhkan, jenisnya dan sifat pekerjaannya.
Dalam usaha untuk mengefektifkan perekrutan calon pegawai negeri sipil,  Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) akan menggandeng perguruan tinggi negeri (PTN) dalam perekrutan calon pegawai negeri sipil. Menpan dan RB, Azwar Abubakar mengatakan, rekrutmen calon pegawai negeri sipil merupakan salah satu pintu masuk penting dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih. Pihaknya akan memperketat proses perekrutan mulai saat pendaftaran hingga penentuan kelulusan. Pasalnya, persoalan transparansi selama ini menjadi masalah yang banyak dikeluhkan masyarakat. Hal ini dikarenakan pada proses penerimaan calon pegawai negeri sipil menjadi lahan mata pencaharian yang menjanjikan bagi para pejabat daerah. Untuk itu perlu adanya perubahan dalam proses rekruitmen calon pegawai negeri sipil, salah satu langkahnya adalah melibatkan Perguruan Tinggi Negeri.
Rencananya, Perguruan Tinggi Negeri yang akan ikut menyeleksi tergabung dalam suatu konsorsium. Berdasarkan rekomendasi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, hanya ada beberapa PTN yang dinilai mampu untuk melaksanakan seleksi aparatur negara di daerah secara objektif, transparan,dan akuntabel. Diharapkan kerja sama dengan PTN ini maka proses perekrutan PNS diharapkan akan semakin kredibel.
Dari sekian banyak Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan merekomendasikan 10 PTN yang akan dilibatkan dalam penerimaan calon pegawai negeri sipil.  Kesepuluh PTN yang direkomendasikan Mendikbud yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas pendidikan Indonesia (UPI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Surabaya (ITS), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Andalas (Unand), dan Universitas Hasanuddin (Unhas)(Suara Merdeka, 28 Januari 2012).
Ada tiga kriteria pokok yang menjadi dasar rekomendasi. Pertama, PTN harus memiliki sistem serta fasilitas infrastruktur. Kriteria kedua adalah sudah teruji secara sistem, yaitu sering digunakan dalam SNMPTN dan teruji dengan baik. Sedangkan kriteria ketiga adalah distribusi. Jadi PTN-nya bukan cuma yang ada di Jawa, di daerah lain juga ada, tapi tetap memenuhi kriteria pertama dan kedua tadi.
Kebijakan ini merupakan langkah bagus untuk mewujudkan rekrutmen CPNS yang transparan. Karena PTN dinilai sebagai badan yang bisa independen dalam melakukan perekrutan CPNS, dan tidak boleh ada intervensi pihak lain dalam mengeluarkan penilaian (evaluasi) CPNS. Hal ini berlaku untuk perekrutan CPNS di pusat, maupun di daerah. PTN sebagai pihak yang menilai dari sisi kompetensi akademiknya, sedangkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan kepegawaian, akan bekerjasama dengan Kementerian PAN dan RB, Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sebelumnya, pemerintah daerah memang bekerjasama dengan PTN dalam menyelenggarakan seleksi CPNS. Tetapi pada saat pengumuman hasil ujian, bukan PTN yang melakukan, tetapi pejabat pembina kepegawaian (PPK) daerah itu sendiri. Namun untuk ke depannya, kemungkinan akan dilakukan kombinasi antara PTN dengan lembaga pemerintah.
 Menpan-RB juga tidak akan segan-segan untuk membatalkan pengangkatan calon PNS baik itu di kementerian, lembaga, atau pemerintah daerah serta tidak akan memberikan nomor induk pegawai (NIP) jika terjadi kecurangan. Menpan dan RB ini juga meminta kepada masyarakat agar berpartisipasi dalam perekrutan calon PNS yang bebas dari KKN.
Dalam hal ini, anggota masyarakat dapat menyampaikan pengaduan kecurangan atau penyalahgunaan wewenang dan KKN kepada Indonesia Corruption Watch (ICW). Pemerintah daerah yang meminta formasi calon PNS juga harus menyertakan analisa jabatan dan kebutuhan pegawai secepatnya. PTN akan memeriksa hasil dari ujian dan menyeleksi calon yang ada dengan sistem peringkat. Tahapan terakhir yaitu melaporkan hasil ujian seleksi ini ke panitia perekrutan yang ada di pemerintah provinsi masing-masing. Meskipun PTN yang ditunjuk sebagai pelaksana ujian berdasarkan rekomendasi pemerintah provinsi setempat, kemungkinan adanya praktik kecurangan selama proses ujian seleksi ini sangat kecil. Pasalnya, PTN merupakan lembaga independen yang tidak mengadakan komunikasi dengan para kandidat untuk birokrasi tertentu.